SALAH satu daya tarik sekaligus kekuatan Presiden Soekarno terletak pada kemampuannya berpidato. Pada zamannya, orang rela berdesakan demi mendengarkan pidato sang Pemimpin Besar yang disiarkan radio. Ribuan rakyat selalu antusias menghadiri rapat raksasa yang menampilkan orasi Bung Karno. Ketika komunikasi lisan lebih populer, pidato Bapak Proklamator itu mendapat tempat untuk didengarkan, juga dipatuhi.
Namun, menjelang kejatuhannya, pidato Bung Karno bagai seruan di padang gurun. Suaranya tak lagi didengar. Perintahnya tak lagi dipatuhi. Arus balik itu bergulir sejak meletus Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Sisa-sisa koran yang masih diizinkan terbit waktu itu lebih sering memelintir pernyataannya atau membiarkan suaranya hilang bersama angin lalu. Penulisan sejarah nasional pun kemudian melupakan pidato Bung Karno sebagai salah satu sumber penting